Selasa, 14 Oktober 2014

Sejarah Fiqih pada Masa Taklid dan kebangkitan Kembali


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ijtihad telah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Menurut sejarawan hukum Islam, kegiatan ijtihad mulai mengalami penurunan semenjak meninggalnya para mujtahid terkenal. Hal ini terjadi pada masa-masa akhir kejayaan imperium Islam. Yaitu ketika daulah Abbasiyah sudah di ambang pintu kehancuran. Sebagian ulama memandang cukup untuk merujuk pendapat imam mahzabnya tanpa harus melakukan ijtihad lagi. Fase ini merupakan fase pergeseran orientasi. Kalau masa-masa sebelumnya merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah, maka pada masa ini yang dirujuk adalah kitab-kitab fiqih yang dikarang oleh imam-imam yang dipandang lebih berkompeten. Terdapat dua ciri yang menandai kemunduran fiqih Islam, yaitu munculnya taklid dan tertutupnya pintu ijtihad.Berbagai faktor, baik politik, mental sosial dan sebagainya yang telah mempengaruhi kegiatan para ulama dalam bidang hukum. Sehingga tidak sanggup mempunyai kepribadian fikiran sendiri, melainkan harus selalu bertaklid.
            Beberapa saat setelah masa taklid ini banyak tokoh yang menyadari bahwa taklid menyebabkan kemunduran fiqih Islam. Lalu pada masa ini timbul ide, usaha, dan gerakan gerakan pembebasan dari sikap taklid  yang terdapat dalam umat Islam dan ilmu pengetahuan Islam
Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian taklid?
2.      Bagaimana kondisi fiqih pada masa taklid?
3.      Bagaimana kondisi fiqih ketika masa kebangkitan kembali?




BAB II
PEMBAHASAN


A.                Fiqih pada Masa Taklid
      I.           Pengertian Taklid
Taklid menurut bahasa adalah mengikuti orang lain tanpa berpikir. Sedangkan Taklid secara syara’ adalah melaksanakan pendapat orang lain tanpa disertai hujjah yang kuat. Misalnya orang awam yang mengambil pendapat seorang mujtahid, atau seorang mujtahid yang mengambil pendapat mujtahid lain.

      II.            Kondisi Awal Periode Taklid
Masa ini berlangsung pada pertengahan abad Hijriyah atau sekitar tahun 300 H. Periode ini juga dikenal sebagai meredupnya semangat dan  keinginan para ulama untuk melakukan ijtihad. Bahkan mereka membatasi diri dengan mengikuti produk produk hukum yang telah dihasilkan oleh para mujtahid sebelumnya. Ilmu hukum islam mulai berhenti berkembang. Ini terjadi di akhir pemerintah atau dinasti Abbasiyah[1] Pada saat itu Bani Abbasiyah sedang dalam kondisi lemah. Banyak daerah yang melepaskan diri dari kekusaan Bani Abbasiyah dan membentuk kerajaan sendiri.[2]
Masa ini bersamaan waktunya dengan kemunduran pemerintahan Islam. Pemerintah Islam tidak lagi semaju masa masa sebelumnya. Keadaan ini berpengaruh besar terhadap perkembangan fiqih dan kehidupan para mujtahid. Selain  itu, madzhab madzhab fiqih sudah terbukukan dengan baik sehingga para fuqaha tidak lagi mencari hukum Al Qur’an dan As Sunnah , tetapi cukup pada karya karya fiqih para ulama sebelumnya. Mereka membatasi diri dalam lingkungan madzhab madzhab itu, dan kesungguhan mereka ditujukan untuk memahami lafazh perkataan para imam madzhab saja. [3]
 Mereka lebih memilih berputar diatas bahtera fiqih yang sudah ada. Diantara ulama-ulama tersebut adalah Abu Al Hasan Al Karkhi, Abu Bakar Ar-Razi dari kalangan mazhab Hanafi, Ibnu Rusyd Al Qurthubi dari mazhab Maliki, Al Juwaini Imam Al Haramain dan Al Ghazali dari kalangan mazhab Syafi’i.[4]
            Imam Muhammad abu zahrah menyatakan beberapa penyebab yang menjadikan tertutupnya pintu ijtihad pada periode ini, yaitu :
1.      Munculnya sikap fanatisme madzhab terhadap imamnya di kalangan pengikut madzhab. Ulama ketika itu merasa lebih baik mengikuti pendapat yang ada dalam madzhab daripada mengikuti metode yang dikembangkan imam madzhabnya untuk berijtihad.
2.      Dipilihnya para hakim yang hanya bertaklid pada suatu madzhab oleh pihak penguasa untuk menyelesaikan persoalan, sehingga hukum fiqih yang diterapkan hanyalah hukum fiqih madzhabnya, sedangkan sebelum ini para hakim yang ditunjuk oleh penguasa adalah ulama mujtahid yang tidak terikat sama sekali pada suatu madzhab.
3.      Munculnya buku buku fiqih yang disusun oleh tiap tiap madzhab, hal ini pun menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, membuat umat Islam mencukupkan diri mengikuti yang tertulis dalam buku buku tersebut.
Penyebab tertutupnya pintu ijtihad ini juga sebagai penyebab terjadinya taklid. Petaka besar menimpa Fiqih Islam pada periode ini, dimana kesucian ilmu ternodai, orang-orang berani berfatwa, menggali hukum sedangkan mereka sangat jauh dari pemahaman terhadap kaidah dan dalil-dalil Fiqih. Keadaan ini memaksa para penguasa dan ulama untuk menutup pintu ijtihad pada pertengahan abad keempat hijriah agar mereka yang mengklaim diri sebagai mujtahid tidak bisa bertindak leluasa dan menyelamatkan masyarakat umum dari fatwa yang menyesatkan. Akan tetapi sangat disayangkan, larangan ini telah memberi efek yang negatif terhadap Fiqih Islam sehingga menjadi jumud dan ketinggalan zaman.
Di sisi lain pada permulaan periode ini terdapat sejumlah orang yang tidak layak berijtihad tetapi ikut berijtihad, sehingga menyebabkan kekacauan. Sementara itu, ulama sederajat Abu Hanifah , Malik Asy-Syafi’i, dan Ibnu Hambal sulit ditemui lagi.
Meskipun sisi lain periode ini disebabkan karena tradisi taklid, secara realitas terdapat kerja ulama. Sebagai contoh Al-Majmu karya An-Nawawi, Al-Mustasfha dan Ihya ‘Ulum Ad-Din karya Al-Ghazali. Mereka giat meneliti dan mengklarifikasikan permasalahan fiqih dan memperdebatkannya dalam forum forum fiqih sehingga dapat diketahui mana yang disepakati mana yang tidak. Kemudian mereka bukukan dalam bentuk kitab seperti Al-Inshaf karya Al-Bathliyusi, Bidayah Al Mujtahid karya Ibnu Rusyd, dan lain lain yang merupakan embrio bagi kelahiran fiqih al-muqaram pada periode selanjutnya.
B.                 Fiqih pada Masa Kebangkitan Kembali
Periode ini menurut Hasbi Ash – Shiddieqy disebut juga dengan periode Renaissance, berlangsung sejak abad ke 13 H. Disebut masa kebangkitan fiqih karena pada masa ini timbul ide, usaha, dan gerakan gerakan pembebasan dari sikap taklid  yang terdapat dalam umat Islam dan ilmu pengetahuan Islam. Gerakan ini timbul setelah munculnya kesadaran umat Islam akan kelemahan dan kemunduran kaum muslimin. Sebagai contohnya di Hijaz pada abad ke 13 H (sekitar abad 18 M) , muncul suatu gerakan yang dipeloporioleh Muhammad Abdul Wahhab. Gerakan ini menyerukan pembasmian bid’ah dan mengajak umat Islam untuk kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta amalan amalan sahabat dalam mengamalkan ajaran ajaran Islam. Gerakan ini keudian diikuti oleh sejumlah gerakan yang diikuti beberapa ulama, seperti Muhammad bin Sanusi di Libya dan Afrika Utara, Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh di Mesir, Al Mahdi di Sudan, K.H. Muhammad Dahlan, H.A. Karim Amrullah, dan T.M. Hasbi Ash Shiddieqy di Indonesia, dan masih banyak lagi.
        Pada dasarnya gerakan ini menyeru pada kebangkitan umat Islam, pengembangan Ilmu pengetahuan Islam, meninggalkan taklid buta, kembali ke ajaran Al-qur’an dan sunnah, serta mengikuti metode sahabat dan ulama sebelum masa kemunduran.
Pengaruh yang ditinggalkan pada periode ini adalah :
1.      Usaha pengkajian dan penulisan kitab kitab fiqih.
2.      Usaha menyusun hukum hukum fiqih secara sistem undang undang tanpa membatasi diri dengan suatu madzhab tertentu.
Metode pengkajian umumnya melalui sistem perbandingan, yaitu mempelajari pendapat semua fuqaha dari semua madzhab, kemudian membandingkan satu sama lain dan dipilih mana yang lebih benar. Ada pun cara penulisan pada fase ini umumnya terfokus pada kajian hukum tertentu seperti kitab khusus mengenai muamalat, jinayat, dan sebagainya.[5] Kebangkitan fiqih pada masa ini dapat ditandai dengan munculnya majalah Al-Ahkam Al-Addliyyah di kerajaan Turki Usmani yang memuat persoalan muamalah (hukum perdata).
Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya pada zaman modern, ulama fiqih mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat berbagai pendapat dari berbagai madzhab fiqih sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Sejak saat itu, kajian fiqih tidak lagi terikat pada salah satu madzhab, tetapi telah mengambil bentuk kajian komparatif dari berbagai madzhab, yang dikenal dengan istilah fiqih muqaran.
Muncul banyak pembaharu pasca Muhammad Abduh, Ridha, Al-Afgani. Seperti Gamal Al Banna adik kandung Hasan Al-Banna yang telah menerbitkan banyak buku di Mesir, seperti Nahwa Fiqhin Jadid (Menuju Fiqih Baru), Tatswirul Qur’an ( Revolusi Al-Qur’an), dan sebagainya. Meskipun banyak tokoh yang apresiatif terhadapnya tetapi ada pula yang kontra. Dia tetap konsisten. Barangkali inilah momentum kebangkitan fiqih dari Mesir maupun Timur Tengah, meskipun harus diakui beberapa pembaharuan pada abad ke-20 ini begitu gencar di mana mana. Di indonesia misalnya, banyak tokoh yang menampilkan wawasan fiqih yang bernuansa dinamis, seperti Ali Yatie, Hasbi Ash-Shiddieqi, Abdurahman Wahid, dan tokoh lainnya.
           


[1]  DR. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ ( Sejarah Legislasi Hukum Islam ),diterjemahkan oleh Dr. Nadirsyah Hawari, M.A ( Jakarta: Amzah, 2009 ) hal.34
[2]  Prof.Dr.H. Alaiddin Koto,M.A, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006) hal. 20
[3]  Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum islam (Bandung : CV Pustaka Setia,2007) hal 114
[4] . Prof. Dr. H. Suparman Usman, S.H, Hukum Islam, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002 ) hal. 89
[5] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum islam (Bandung : CV Pustaka Setia,2007) hal 121

Tidak ada komentar:

Posting Komentar