BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijtihad
telah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Menurut sejarawan hukum Islam,
kegiatan ijtihad mulai mengalami penurunan semenjak meninggalnya para mujtahid
terkenal. Hal ini terjadi pada masa-masa akhir kejayaan imperium Islam. Yaitu
ketika daulah Abbasiyah sudah di ambang pintu kehancuran. Sebagian ulama
memandang cukup untuk merujuk pendapat imam mahzabnya tanpa harus melakukan
ijtihad lagi. Fase ini merupakan fase pergeseran orientasi. Kalau masa-masa
sebelumnya merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah, maka pada masa ini yang dirujuk
adalah kitab-kitab fiqih yang dikarang oleh imam-imam yang dipandang lebih
berkompeten. Terdapat dua ciri yang menandai kemunduran fiqih Islam, yaitu
munculnya taklid dan tertutupnya pintu ijtihad.Berbagai faktor, baik politik,
mental sosial dan sebagainya yang telah mempengaruhi kegiatan para ulama dalam
bidang hukum. Sehingga tidak sanggup mempunyai kepribadian fikiran sendiri,
melainkan harus selalu bertaklid.
Beberapa saat setelah masa taklid
ini banyak tokoh yang menyadari bahwa taklid menyebabkan kemunduran fiqih
Islam. Lalu pada masa ini timbul ide, usaha, dan gerakan gerakan pembebasan
dari sikap taklid yang terdapat dalam
umat Islam dan ilmu pengetahuan Islam
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian taklid?
2. Bagaimana
kondisi fiqih pada masa taklid?
3. Bagaimana
kondisi fiqih ketika masa kebangkitan kembali?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Fiqih
pada Masa Taklid
I.
Pengertian Taklid
Taklid menurut bahasa adalah mengikuti orang lain
tanpa berpikir. Sedangkan Taklid secara syara’ adalah melaksanakan pendapat
orang lain tanpa disertai hujjah yang
kuat. Misalnya orang awam yang mengambil pendapat seorang mujtahid, atau seorang mujtahid yang mengambil pendapat mujtahid
lain.
II.
Kondisi
Awal Periode Taklid
Masa ini berlangsung pada pertengahan
abad Hijriyah atau sekitar tahun 300 H. Periode ini juga dikenal sebagai
meredupnya semangat dan keinginan para
ulama untuk melakukan ijtihad. Bahkan mereka membatasi diri dengan mengikuti
produk produk hukum yang telah dihasilkan oleh para mujtahid sebelumnya. Ilmu hukum islam mulai berhenti
berkembang. Ini terjadi di akhir pemerintah atau dinasti Abbasiyah[1] Pada saat itu Bani Abbasiyah sedang dalam kondisi lemah. Banyak daerah
yang melepaskan diri dari kekusaan Bani Abbasiyah dan membentuk kerajaan
sendiri.[2]
Masa ini bersamaan waktunya dengan
kemunduran pemerintahan Islam. Pemerintah Islam tidak lagi semaju masa masa
sebelumnya. Keadaan ini berpengaruh besar terhadap perkembangan fiqih dan
kehidupan para mujtahid. Selain itu,
madzhab madzhab fiqih sudah terbukukan dengan baik sehingga para fuqaha tidak lagi mencari hukum Al
Qur’an dan As Sunnah , tetapi cukup pada karya karya fiqih para ulama sebelumnya.
Mereka membatasi diri dalam lingkungan madzhab madzhab itu, dan kesungguhan
mereka ditujukan untuk memahami lafazh perkataan para imam madzhab saja. [3]
Mereka lebih memilih berputar diatas bahtera fiqih yang sudah ada. Diantara
ulama-ulama tersebut adalah Abu Al Hasan Al Karkhi, Abu Bakar Ar-Razi dari
kalangan mazhab Hanafi, Ibnu Rusyd Al Qurthubi dari mazhab Maliki, Al Juwaini
Imam Al Haramain dan Al Ghazali dari kalangan mazhab Syafi’i.[4]
Imam Muhammad abu zahrah menyatakan
beberapa penyebab yang menjadikan tertutupnya pintu ijtihad pada periode ini,
yaitu :
1. Munculnya
sikap fanatisme madzhab terhadap imamnya di kalangan pengikut madzhab. Ulama
ketika itu merasa lebih baik mengikuti pendapat yang ada dalam madzhab daripada
mengikuti metode yang dikembangkan imam madzhabnya untuk berijtihad.
2. Dipilihnya
para hakim yang hanya bertaklid pada suatu madzhab oleh pihak penguasa untuk
menyelesaikan persoalan, sehingga hukum fiqih yang diterapkan hanyalah hukum
fiqih madzhabnya, sedangkan sebelum ini para hakim yang ditunjuk oleh penguasa
adalah ulama mujtahid yang tidak terikat sama sekali pada suatu madzhab.
3. Munculnya
buku buku fiqih yang disusun oleh tiap tiap madzhab, hal ini pun menurut Imam
Muhammad Abu Zahrah, membuat umat Islam mencukupkan diri mengikuti yang
tertulis dalam buku buku tersebut.
Penyebab
tertutupnya pintu ijtihad ini juga sebagai penyebab terjadinya taklid. Petaka besar menimpa Fiqih Islam pada periode ini, dimana kesucian ilmu
ternodai, orang-orang berani berfatwa, menggali hukum sedangkan mereka sangat
jauh dari pemahaman terhadap kaidah dan dalil-dalil Fiqih. Keadaan ini memaksa
para penguasa dan ulama untuk menutup pintu ijtihad pada pertengahan abad
keempat hijriah agar mereka yang mengklaim diri sebagai mujtahid tidak bisa
bertindak leluasa dan menyelamatkan masyarakat umum dari fatwa yang
menyesatkan. Akan tetapi sangat disayangkan, larangan ini telah memberi efek
yang negatif terhadap Fiqih Islam sehingga menjadi jumud dan ketinggalan zaman.
Di sisi lain pada permulaan periode ini
terdapat sejumlah orang yang tidak layak berijtihad tetapi ikut berijtihad,
sehingga menyebabkan kekacauan. Sementara itu, ulama sederajat Abu Hanifah ,
Malik Asy-Syafi’i, dan Ibnu Hambal sulit ditemui lagi.
Meskipun sisi lain periode ini
disebabkan karena tradisi taklid, secara realitas terdapat kerja ulama. Sebagai
contoh Al-Majmu karya An-Nawawi, Al-Mustasfha dan Ihya ‘Ulum Ad-Din karya Al-Ghazali. Mereka giat meneliti dan
mengklarifikasikan permasalahan fiqih dan memperdebatkannya dalam forum forum
fiqih sehingga dapat diketahui mana yang disepakati mana yang tidak. Kemudian
mereka bukukan dalam bentuk kitab seperti Al-Inshaf
karya Al-Bathliyusi, Bidayah Al
Mujtahid karya Ibnu Rusyd, dan lain lain yang merupakan embrio bagi
kelahiran fiqih al-muqaram pada
periode selanjutnya.
B.
Fiqih
pada Masa Kebangkitan Kembali
Periode
ini menurut Hasbi Ash – Shiddieqy disebut juga dengan periode Renaissance, berlangsung sejak abad ke
13 H. Disebut masa kebangkitan fiqih karena pada masa ini timbul ide, usaha,
dan gerakan gerakan pembebasan dari sikap taklid yang terdapat dalam umat Islam dan ilmu
pengetahuan Islam. Gerakan ini timbul setelah munculnya kesadaran umat Islam akan
kelemahan dan kemunduran kaum muslimin. Sebagai contohnya di Hijaz pada abad ke
13 H (sekitar abad 18 M) , muncul suatu gerakan yang dipeloporioleh Muhammad
Abdul Wahhab. Gerakan ini menyerukan pembasmian bid’ah dan mengajak umat Islam
untuk kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta amalan amalan sahabat dalam
mengamalkan ajaran ajaran Islam. Gerakan ini keudian diikuti oleh sejumlah gerakan
yang diikuti beberapa ulama, seperti Muhammad bin Sanusi di Libya dan Afrika
Utara, Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh di Mesir, Al Mahdi di Sudan,
K.H. Muhammad Dahlan, H.A. Karim Amrullah, dan T.M. Hasbi Ash Shiddieqy di
Indonesia, dan masih banyak lagi.
Pada dasarnya gerakan ini menyeru pada
kebangkitan umat Islam, pengembangan Ilmu pengetahuan Islam, meninggalkan
taklid buta, kembali ke ajaran Al-qur’an dan sunnah, serta mengikuti metode
sahabat dan ulama sebelum masa kemunduran.
Pengaruh yang
ditinggalkan pada periode ini adalah :
1. Usaha
pengkajian dan penulisan kitab kitab fiqih.
2. Usaha
menyusun hukum hukum fiqih secara sistem undang undang tanpa membatasi diri
dengan suatu madzhab tertentu.
Metode pengkajian umumnya melalui sistem
perbandingan, yaitu mempelajari pendapat semua fuqaha dari semua madzhab,
kemudian membandingkan satu sama lain dan dipilih mana yang lebih benar. Ada
pun cara penulisan pada fase ini umumnya terfokus pada kajian hukum tertentu
seperti kitab khusus mengenai muamalat, jinayat, dan sebagainya.[5] Kebangkitan
fiqih pada masa ini dapat ditandai dengan munculnya majalah Al-Ahkam Al-Addliyyah di kerajaan Turki
Usmani yang memuat persoalan muamalah (hukum perdata).
Dalam perkembangan selanjutnya,
khususnya pada zaman modern, ulama fiqih mempunyai kecenderungan kuat untuk
melihat berbagai pendapat dari berbagai madzhab fiqih sebagai satu kesatuan
yang tak terpisahkan. Sejak saat itu, kajian fiqih tidak lagi terikat pada
salah satu madzhab, tetapi telah mengambil bentuk kajian komparatif dari
berbagai madzhab, yang dikenal dengan istilah fiqih muqaran.
Muncul banyak pembaharu pasca Muhammad
Abduh, Ridha, Al-Afgani. Seperti Gamal Al Banna adik kandung Hasan Al-Banna
yang telah menerbitkan banyak buku di Mesir, seperti Nahwa Fiqhin Jadid (Menuju Fiqih Baru), Tatswirul Qur’an ( Revolusi Al-Qur’an), dan sebagainya. Meskipun
banyak tokoh yang apresiatif terhadapnya tetapi ada pula yang kontra. Dia tetap
konsisten. Barangkali inilah momentum kebangkitan fiqih dari Mesir maupun Timur
Tengah, meskipun harus diakui beberapa pembaharuan pada abad ke-20 ini begitu
gencar di mana mana. Di indonesia misalnya, banyak tokoh yang menampilkan
wawasan fiqih yang bernuansa dinamis, seperti Ali Yatie, Hasbi Ash-Shiddieqi,
Abdurahman Wahid, dan tokoh lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar