Arti Penemuan Hukum
Penemuan
hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang
ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit.
Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses konkritisasi
peraturan hukum (das Sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa
konkrit (das Sein) tertentu. Hakim selalu dihadapkan pada peristiwa konkrit,
konflik atau kasus yang harus diselesaikan atau dipecahkan masalah hukumnya.
Jadi dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan hukum untuk
peristiwa konkrit.[1]
Dalam menemukan hukum, hakim memerlukan sumber hukum. Sumber utama penemuan
hukum adalah peraturan perundang-undangan, kemudian hukum kebiasaan, yurisprudensi,
perjanjian internasional dan doktrin. Jadi terdapat hierarkhi dalam sumber
hukum, ada tingkatan-tingkatan[2].
Dalam
ajaran penemuan hukum, undang-undang diprioritaskan atau didahulukan dari
sumber sumber hukum lainnya. Jika hendak mencari hukumnya, arti sebuah kata,
maka dicarilah terlebih dahulu dalam undang-undang, karena undang undang bersifat
otentik dan berbentuk tertulis, yang lebih menjamin kepastian hukum.[3]
Aliran-Aliran Penemuan Hukum
1.
Aliran
Legisme
Aliran ini berpendapat bahwa semua hukum ini berasal dari penguasa
tertinggi yaitu pembentuk undang-undang. Sebagai penganut teori
ini antara lain: Montesqueu, Rousseou, Robbespierre,Fennet, Rudolf van Jhering,
G. Jellineck, Care de Malberg, H. Nawiatski, dan Hans Kelsen. Aliran ini
berpandangan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, karena
undang-undang dianggap sudah lengkap dan jelas dalam mengatur semua persoalan
hukum. Sehingga hakim tidak boleh berbuat selain dari menerapkan undang-undang
secara tegas apa adanya. Jadi hakim hanya sekedar corong atau terompetnya
undang-undang (La bouche de la loi). Hakim hanyalah sebagai subsumtie
automaat,yaitu kedudukan hakim ada dibawah undang-undang atau hanya sebagai
pelaksana undang-undang, sehingga hakim tidak berwenang mengubah isi
undang-undang. Hakim hanya berwenang menerapkan peraturan hukum pada peristiwa
konkret dengan bantuan metode penafsiran, terutama penafsiran gramatikal, yaitu
penafsiran menurut bahasa di mana arti ketentuan undang-undang dijelaskan
menurut bahasa umum sehari-hari.
2.
Mazab Historis
Pada abad ke-20
disadari bahwa undang-undang tidaklah lengkap, nilai-nilai
yang dituangkan tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat, kalau kondisi
ini dipertahankan maka akan terjadi kekosongan hukum. Mazab historis dipelopori
oleh Von Savigny. Inti dari ajaran ini adalah hukum tumbuh dari kesadaran hukum
bangsa di suatu tempat dan pada waktu tertentu (Das Recht Wird nicht gemacht,
es ist und wird mit dem Volke). Kesadaran hukum yang paling murni terdapat pada
kebiasaan. Jadi, Von Savigny memberi tempat pada hukum kebiasaan sebagai sumber
hukum.
3.
Begriffsjurispridenz
Aliran ini
dipelopori oleh Rudolf von Jhering. Begriffsjurizprudenz ini lebih memberikan
kebebasan kepada hakim daripada legisme. Hakim tidak perlu terikat pada bunyi
undang undang, tetapi dapat mengambil argumentasinya dari peraturan-peraturan
hukum yang tersirat dalam undang-undang.
4.
Interessenjurisprudenz
Sebagai
reaksi terhadap Begriffsjurisprudenz lahirlah pada abad ke 19 di Jerman
Interessenjurisprudenz. Interessenjurisprudenz ini mengalami masa jayanya
sebagai aliran ilmu hukum pada dasawarsa pertama abad ke 20 di Jerman.
Aliran ini berpendapat bahwa peraturan hukum
tidak boleh dilihat oleh hakim sebagai formil-logis belaka, tetapi harus dinilai
menurut tujuannya. Von Jhering mengarah kepada tujuan yang terdapat di belakang
sistem dan merealisasi “ide keadilan dan kesusilaan yang tak mengenal
waktu”. Aliran ini berpendapat bahwa tujuan hukum pada dasarnya
adalah untuk melindungi, memuaskan atau memenuhi kepentingan atau kebutuhan
hidup yang nyata. Dalam putusannya hakim harus bertanya kepentingan manakah
yang diatur atau dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang.
5.
Freirehtbewegung
Pengikut aliran
ini menentang pendapat bahwa kodifikasi itu lengkap dan bahwa hakim dalam
proses penemuan hukum tidak mempunyai sumbangan kreatif. Tidak seluruh hukum
terdapat dalam undang-undang. Di samping undang-undang masih ada sumber hukum
lain yang dapat digunakan hakim untuk menemukan hukumnya.
6.
Penemuan hukum
modern
Salah satu
pokok pandangan modern ini ialah bahwa bukan sistem perundang-undangan yang
merupakan titik tolak, tetapi masalah kemasyarakatan yang konkrit yang harus
dipecahkan. Undang-undang bukanlah sesuatu yang penuh dengan kebenaran dan
jawaban, yang paling tidak membutuhkan beberapa penafsiran untuk dapat dilaksanakan
dalam situasi konkrit, tetapi lebih merupakan usulan untuk penyelesaian, suatu
pedoman dalam penemuan hukum, dan dalam kaitan itu masih banyak faktor-faktor
penting lainnya yang dapat digunakan untuk penyelesaian masalah-masalah hukum.
Pengertian
Interpretasi Hukum
Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang
tidak jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat
ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Dalam melakukan penafsiran
hukum terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak lengkap
atau tidak jelas, seorang ahli hukum tidak dapat bertindak sewenang-wenang.[4]
Singkatnya, penafsiran (interpretasi) adalah menentukan makna atau arti suatu
teks atau bunyi pasal berdasar pada kaitannya.[5]
Macam Macam Penafsiran
(Interpretasi) Hukum
1.
Interpretasi
tata bahasa (Gramatikal)
Cara penafsiran
ini mendasarkan pengertiannya pada bunyi ketentuan undang-undang dengan patokan
pada arti kata-kata, kalimat dan bahasanya dalam hubungannya satu dengan
lainnya yang di pergunakan dalam undang-undang. Dalam hal ini yang dijadikan
sebagai pedoman adalah arti perkataan, menurut tata bahasa atau kebiasaan
semata, yaitu arti dalam penggunaan sehari-hari.[6] Sebagai
contoh interpretasi gramatikal misalnya istilah “menggelapkan” pada
pasal 372 KUHP ditafsirkan sebagai “menghilangkan”.[7]
2.
Interprestasi
resmi (autentik/sahih)
Penafsiran
(intreprestasi) resmi (autentik/saheh) adalah penafsiran yang tegas, lugas dan
jelas, jadi merupakan suatu penafsiran
yang dinilai sebagai suatu kepastian arti kata-kata yang dimaksud oleh
undang-undang. Menurut Kansil, penafsiran saheh (autentik, resmi) ialah
penfsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagai mana diberikan oleh
pembentuk undang-undang, misalnya:
a.
Penganiayaan
berat
Yang dimaksud penganiyaan
berat ialah seorang dengan sengaja menimbulkan luka-luka parah pada
orang lain. di dalam rumusan pasal 354 KUHP yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut adalah istilah luka
berat (luka parah)secara yuridis dapat diadakan penafsiran resmi seperti yang
tercantum di pasal KUHP ialah luka berat berarti :
1)
Jatuh
sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali
atau yang menimbulkan maut.
2)
Tidak
mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian .
3)
Kehilangan
salah satu panca indra.
4)
Mendapat
cacat berat (verminking).
5)
Menderita
sakit lumpuh.
6)
Terganggunya
daya pikir selama empat minggu lebih.
7)
Gugurnya
atau matinya kandungan seorang perempuan.
3.
Interpretasi
Sejarah (historis)
Setiap
ketentuan undang-undang memiliki sejarah tersendiri. Hakim dapat memahami
maksud dan tujuan pembuatan undang-undang tadi melalui sejarah, riwayat
peraturan perundang-undangan tersebut. Penafsiran sejarah dapat melalui dua
bagian yakni :
a.
Sejarah
hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terbentuknya hukum
tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori penjelasan
laporan-laporan perdebatan dalam badan legislatif dan surat menyurat antara
pemerintah dengan komisi badan legislatif yang bersangkutan
b.
Sejarah
undang-undangnya yang diselidiki maksud pembentuk undang-undang pada waktu membuat
undang–undang itu.
4.
Interpretasi
Nasional
Penafsiran
nasional ialah penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang
berlaku, misalnya hak milik pasal 570 KUHS sekarang harus ditafsirkan menurut
hak milik sistem hukum Indonesia (pancasila) .
5.
Interpretasi
Sistematis (dogmatis)
Penafsiran
sistem dogmatis penafsiran menilik
susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya bak dalam
undang-undang itu maupun dengan undang-undang yang lain misalnya “ azas
monogamy” tersebut di pasal 27 KUHS menjadi dasar pasal-pasal 34, 60, 64,86,
KUHS
6.
Interprestasi
Teleogis (Sosiologis)
Penafsiran
teleogis, (sosiologis) yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan
undang-undang itu. Ini penting disebabkan kebutuhan-kebutuhan berubah menurut
masa sedangkan bunyi undang-undang sama saja. Misalnya tujuan dibentuknya UU KPK atau UU
Pengadilan Niaga.
7.
Interprestasi Ekstensif
Penafsiran ekstensif, memberi tafsiran dengan memperluas arti
kata-kata dalam peraturan itu. Misalnya penafsiran kata “menjual” dalam
Pasal 1576 KUHPerd yang ditafsirkan luas, yaitu bukan hanya jual beli saja,
tetapi setiap peralihan hak milik.
8.
Interprestasi
Restriktif
Penafsiran
restriktif, ialah penafsiran dengan membatasi(mempersempit) arti kata-kata
dalam peraturan itu, misalnya “kerugian tidak termasuk kerugian yang “tak
terwujud” seperti sakit cacat dan sebagainya.
9.
Interprestasi
Menurut Peringkaran (argentum a Contrario)
Kansil menjelaskan penafsiran (interprestasi) ini sebagai berikut :
Penafsiran a Contrario (menurut peringkaran) ialah suatu cara
menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara
soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal undang-undang. Contoh
:
Pasal 34 KUHS
menentukan bahwa seorang perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebelum
lewat 300 hari setelah perkawinannya terdahulu diputuskan. Timbullah kini
pertanyaan,bagaimanakah halnya dengan seorang laki-laki? Apakah seorang
laki-laki juga harus menunggu lampaunya waktu 300 hari ? jawaban atas
pertanyaan ini ialah “ tidak”, karena pasal 34 KUHS tidak menyebutkan apa-apa
tentang orang laki-laki dan khusus ditujukan kepada orang perempuan.
10.
Interprestasi Analogis
Penafsiran analogis,
memberi tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kias) pada
kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang
sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan
tersebut, misalnya “menyambung” aliran listrik dianggap sama dengan “mengambil”
aliran listrik.
Penganalogian “menyambung” aliran listrik adalah “mengambil” aliran
listrik erat kaitannya dengan pasal 362 KUH. Pidana yakni :
“Barangsiapa mengambil barang sesuatu,yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum,diancam
karena pencurian,dengan pidana penjara paling lama lima tahun .....”[8]
11.
Interpretasi
komparatif
Interpretasi komparatif, yaitu penafsiran dengan cara membandingkan
dengan penjelasan berdasarkan perbandingan hukum, agar dapat ditemukan
kejelasan suatu undang-undang.
12.
Interpretasi
futuritis
Interpretasi dengan penjelasan undang-undang dengan berpedoman pada
undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum, yaitu rancangan
undang-undang.[9]
Penerapan Metode Metode Interpretasi Hukum
Pembuat Undang-undang tidak menetapkan suatu sistem tertentu yang hasus
dijadikan pedoman bagi hakim dalam menafsirkan undang-undang. Oleh karenanya
hakim bebas dalam melakukan penafsiran.
Dalam melaksanakan penafsiran peraturan perundang-undangan pertama-tama
dilakukan penafsiran gramatikal, karena pada hakikatnya untuk memahami teks
pertauran perundang-undangan harusdimengerti lebih dahulu arti kata-katanya.
Apabila perlu dilanjutkan dengan penafsiran otentik, kemudian dilanjutkan
dengan penafsiran historis dan sosiologis.
Sedapat mugkin semua metode penafsiran supaya dilakukan, agar didapat
makna-makna yang tepat. Apabila semua metode tersebut tidak menghasilkan makna
yang sama , maka wajib diambil metode penafsiran yang membawa keadilan
setinggi-tingginya, karena memang keadilan itulah yang dijadikan sasaran
pembuat undang-undang pada waktu mewujudkan undang-undang yang bersangkutan. [10]
DAFTAR PUSTAKA
Dirdjosisworo,
Sudjono. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.1996.
Ishaq. Ilmu Hukum.
Jakarta : Sinar Grafika.2012.
Mertokusumo,Sudikno.
Penemuan Hukum. Yogyakarta: Penerbit Universitas Atmajaya.2010.
Ruhiatudin,Budi.Pengantar Ilmu Hukum.Yogyakarta: TERAS. 2009.
Sudarsono.
Pengantar Ilmu Hukum . Jakarta: PT. Rineka Cipta.2007.
Soeroso. Pengantar
Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika:2002.
[1] Sudikno
Mertokusumo, Penemuan Hukum (Yogyakarta : Penerbit Universitas
Atmajaya,2010), hlm. 49.
[2] Ibid,
hlm. 63
[3] Ibid, hlm.
64
[5] Sudjono
Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Raja Grafindo
Persada,1996), hlm. 156.
[6] Sudarsono,
Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: PT. Rineka Cipta,2007),hlm. 123.
[7] Mertokusumo, Penemuan
Hukum ............ hlm.75.
[8] Sudarsono, Pengantar
Ilmu Hukum ..... hlm.138.
[9] Ishaq, Ilmu
Hukum (Jakarta : Sinar Grafika,2012), hlm. 256.