Senin, 06 April 2015

Penafsiran Hukum Dan Interpretasi Hukum


    Arti Penemuan Hukum
Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses konkritisasi peraturan hukum (das Sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das Sein) tertentu. Hakim selalu dihadapkan pada peristiwa konkrit, konflik atau kasus yang harus diselesaikan atau dipecahkan masalah hukumnya. Jadi dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan hukum untuk peristiwa konkrit.[1] Dalam menemukan hukum, hakim memerlukan sumber hukum. Sumber utama penemuan hukum adalah peraturan perundang-undangan, kemudian hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional dan doktrin. Jadi terdapat hierarkhi dalam sumber hukum, ada tingkatan-tingkatan[2].
Dalam ajaran penemuan hukum, undang-undang diprioritaskan atau didahulukan dari sumber sumber hukum lainnya. Jika hendak mencari hukumnya, arti sebuah kata, maka dicarilah terlebih dahulu dalam undang-undang, karena undang undang bersifat otentik dan berbentuk tertulis, yang lebih menjamin kepastian hukum.[3]

      Aliran-Aliran Penemuan Hukum
1.      Aliran Legisme
Aliran ini berpendapat bahwa semua hukum ini berasal dari penguasa tertinggi yaitu pembentuk undang-undang. Sebagai penganut teori ini antara lain: Montesqueu, Rousseou, Robbespierre,Fennet, Rudolf van Jhering, G. Jellineck, Care de Malberg, H. Nawiatski, dan Hans Kelsen. Aliran ini berpandangan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, karena undang-undang dianggap sudah lengkap dan jelas dalam mengatur semua persoalan hukum. Sehingga hakim tidak boleh berbuat selain dari menerapkan undang-undang secara tegas apa adanya. Jadi hakim hanya sekedar corong atau terompetnya undang-undang (La bouche de la loi). Hakim hanyalah sebagai subsumtie automaat,yaitu kedudukan hakim ada dibawah undang-undang atau hanya sebagai pelaksana undang-undang, sehingga hakim tidak berwenang mengubah isi undang-undang. Hakim hanya berwenang menerapkan peraturan hukum pada peristiwa konkret dengan bantuan metode penafsiran, terutama penafsiran gramatikal, yaitu penafsiran menurut bahasa di mana arti ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa umum sehari-hari.
2.         Mazab Historis
Pada abad ke-20 disadari bahwa undang-undang tidaklah lengkap, nilai-nilai yang dituangkan tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat, kalau kondisi ini dipertahankan maka akan terjadi kekosongan hukum. Mazab historis dipelopori oleh Von Savigny. Inti dari ajaran ini adalah hukum tumbuh dari kesadaran hukum bangsa di suatu tempat dan pada waktu tertentu (Das Recht Wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem Volke). Kesadaran hukum yang paling murni terdapat pada kebiasaan. Jadi, Von Savigny memberi tempat pada hukum kebiasaan sebagai sumber hukum.
3.         Begriffsjurispridenz
Aliran ini dipelopori oleh Rudolf von Jhering. Begriffsjurizprudenz ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim daripada legisme. Hakim tidak perlu terikat pada bunyi undang undang, tetapi dapat mengambil argumentasinya dari peraturan-peraturan hukum yang tersirat dalam undang-undang.    
4.         Interessenjurisprudenz
Sebagai reaksi terhadap Begriffsjurisprudenz lahirlah pada abad ke 19 di Jerman Interessenjurisprudenz. Interessenjurisprudenz ini mengalami masa jayanya sebagai aliran ilmu hukum pada dasawarsa pertama abad ke 20 di Jerman.
Aliran ini berpendapat bahwa peraturan hukum tidak boleh dilihat oleh hakim sebagai formil-logis belaka, tetapi harus dinilai menurut tujuannya. Von Jhering mengarah kepada tujuan yang terdapat di belakang sistem dan merealisasi “ide keadilan dan kesusilaan yang tak mengenal waktu”. Aliran ini berpendapat bahwa tujuan hukum pada dasarnya adalah untuk melindungi, memuaskan atau memenuhi kepentingan atau kebutuhan hidup yang nyata. Dalam putusannya hakim harus bertanya kepentingan manakah yang diatur atau dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang.
5.             Freirehtbewegung
Pengikut aliran ini menentang pendapat bahwa kodifikasi itu lengkap dan bahwa hakim dalam proses penemuan hukum tidak mempunyai sumbangan kreatif. Tidak seluruh hukum terdapat dalam undang-undang. Di samping undang-undang masih ada sumber hukum lain yang dapat digunakan hakim untuk menemukan hukumnya.
6.             Penemuan hukum modern
Salah satu pokok pandangan modern ini ialah bahwa bukan sistem perundang-undangan yang merupakan titik tolak, tetapi masalah kemasyarakatan yang konkrit yang harus dipecahkan. Undang-undang bukanlah sesuatu yang penuh dengan kebenaran dan jawaban, yang paling tidak membutuhkan beberapa penafsiran untuk dapat dilaksanakan dalam situasi konkrit, tetapi lebih merupakan usulan untuk penyelesaian, suatu pedoman dalam penemuan hukum, dan dalam kaitan itu masih banyak faktor-faktor penting lainnya yang dapat digunakan untuk penyelesaian masalah-masalah hukum.
              Pengertian Interpretasi Hukum
Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Dalam melakukan penafsiran hukum terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak lengkap atau tidak jelas, seorang ahli hukum tidak dapat bertindak sewenang-wenang.[4] Singkatnya, penafsiran (interpretasi) adalah menentukan makna atau arti suatu teks atau bunyi pasal berdasar pada kaitannya.[5]
                Macam Macam Penafsiran (Interpretasi) Hukum
1.                  Interpretasi tata bahasa (Gramatikal)
Cara penafsiran ini mendasarkan pengertiannya pada bunyi ketentuan undang-undang dengan patokan pada arti kata-kata, kalimat dan bahasanya dalam hubungannya satu dengan lainnya yang di pergunakan dalam undang-undang. Dalam hal ini yang dijadikan sebagai pedoman adalah arti perkataan, menurut tata bahasa atau kebiasaan semata, yaitu arti dalam penggunaan sehari-hari.[6] Sebagai contoh interpretasi gramatikal misalnya istilah “menggelapkan” pada pasal 372 KUHP ditafsirkan sebagai “menghilangkan”.[7]
2.         Interprestasi resmi (autentik/sahih)
Penafsiran (intreprestasi) resmi (autentik/saheh) adalah penafsiran yang tegas, lugas dan jelas, jadi merupakan suatu  penafsiran yang dinilai sebagai suatu kepastian arti kata-kata yang dimaksud oleh undang-undang. Menurut Kansil, penafsiran saheh (autentik, resmi) ialah penfsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagai mana diberikan oleh pembentuk undang-undang, misalnya:
a.                   Penganiayaan berat
Yang dimaksud penganiyaan  berat ialah seorang dengan sengaja menimbulkan luka-luka parah pada orang lain. di dalam rumusan pasal 354 KUHP yang masih memerlukan  penjelasan lebih lanjut adalah istilah luka berat (luka parah)secara yuridis dapat diadakan penafsiran resmi seperti yang tercantum di pasal KUHP ialah luka berat berarti :
1)      Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali atau yang menimbulkan maut.
2)      Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian .
3)      Kehilangan salah satu panca indra.
4)      Mendapat cacat berat (verminking).
5)      Menderita sakit lumpuh.
6)      Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih.
7)      Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.
3.         Interpretasi Sejarah (historis)
Setiap ketentuan undang-undang memiliki sejarah tersendiri. Hakim dapat memahami maksud dan tujuan pembuatan undang-undang tadi melalui sejarah, riwayat peraturan perundang-undangan tersebut. Penafsiran sejarah dapat melalui dua bagian yakni :
a.                   Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terbentuknya hukum tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori penjelasan laporan-laporan perdebatan dalam badan legislatif dan surat menyurat antara pemerintah dengan komisi badan legislatif yang bersangkutan
b.                  Sejarah undang-undangnya yang diselidiki maksud pembentuk undang-undang pada waktu membuat undang–undang itu.

4.         Interpretasi Nasional
Penafsiran nasional ialah penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku, misalnya hak milik pasal 570 KUHS sekarang harus ditafsirkan menurut hak milik sistem hukum Indonesia (pancasila) .


5.                  Interpretasi Sistematis (dogmatis)
                 Penafsiran sistem dogmatis  penafsiran menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya bak dalam undang-undang itu maupun dengan undang-undang yang lain misalnya “ azas monogamy” tersebut di pasal 27 KUHS menjadi dasar pasal-pasal 34, 60, 64,86, KUHS
6.                  Interprestasi Teleogis (Sosiologis)
Penafsiran teleogis, (sosiologis) yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undang-undang itu. Ini penting disebabkan kebutuhan-kebutuhan berubah menurut masa sedangkan bunyi undang-undang sama saja. Misalnya tujuan dibentuknya UU KPK atau UU Pengadilan Niaga.
7.         Interprestasi  Ekstensif
Penafsiran ekstensif, memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu. Misalnya penafsiran kata “menjual” dalam Pasal 1576 KUHPerd yang ditafsirkan luas, yaitu bukan hanya jual beli saja, tetapi setiap peralihan hak milik.
8.         Interprestasi Restriktif
Penafsiran restriktif, ialah penafsiran dengan membatasi(mempersempit) arti kata-kata dalam peraturan itu, misalnya “kerugian tidak termasuk kerugian yang “tak terwujud” seperti sakit cacat dan sebagainya.
9.         Interprestasi Menurut Peringkaran (argentum a Contrario)
Kansil menjelaskan penafsiran (interprestasi) ini sebagai berikut :
Penafsiran a Contrario (menurut peringkaran) ialah suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal undang-undang. Contoh :
Pasal 34 KUHS menentukan bahwa seorang perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebelum lewat 300 hari setelah perkawinannya terdahulu diputuskan. Timbullah kini pertanyaan,bagaimanakah halnya dengan seorang laki-laki? Apakah seorang laki-laki juga harus menunggu lampaunya waktu 300 hari ? jawaban atas pertanyaan ini ialah “ tidak”, karena pasal 34 KUHS tidak menyebutkan apa-apa tentang orang laki-laki dan khusus ditujukan kepada orang perempuan.
10.   Interprestasi Analogis
Penafsiran analogis, memberi tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kias) pada kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut, misalnya “menyambung” aliran listrik dianggap sama dengan “mengambil” aliran listrik.
Penganalogian “menyambung” aliran listrik adalah “mengambil” aliran listrik erat kaitannya dengan pasal 362 KUH. Pidana yakni :
“Barangsiapa mengambil barang sesuatu,yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum,diancam karena pencurian,dengan pidana penjara paling lama lima tahun .....”[8]
11.              Interpretasi komparatif
Interpretasi komparatif, yaitu penafsiran dengan cara membandingkan dengan penjelasan berdasarkan perbandingan hukum, agar dapat ditemukan kejelasan suatu undang-undang.
12.              Interpretasi futuritis
Interpretasi dengan penjelasan undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum, yaitu rancangan undang-undang.[9]
         Penerapan Metode Metode Interpretasi Hukum
Pembuat Undang-undang tidak menetapkan suatu sistem tertentu yang hasus dijadikan pedoman bagi hakim dalam menafsirkan undang-undang. Oleh karenanya hakim bebas dalam melakukan penafsiran.
Dalam melaksanakan penafsiran peraturan perundang-undangan pertama-tama dilakukan penafsiran gramatikal, karena pada hakikatnya untuk memahami teks pertauran perundang-undangan harusdimengerti lebih dahulu arti kata-katanya. Apabila perlu dilanjutkan dengan penafsiran otentik, kemudian dilanjutkan dengan penafsiran historis dan sosiologis.
            Sedapat mugkin semua metode penafsiran supaya dilakukan, agar didapat makna-makna yang tepat. Apabila semua metode tersebut tidak menghasilkan makna yang sama , maka wajib diambil metode penafsiran yang membawa keadilan setinggi-tingginya, karena memang keadilan itulah yang dijadikan sasaran pembuat undang-undang pada waktu mewujudkan undang-undang yang bersangkutan. [10]




DAFTAR PUSTAKA

Dirdjosisworo, Sudjono. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.1996.
Ishaq.  Ilmu Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.2012.
Mertokusumo,Sudikno. Penemuan Hukum. Yogyakarta: Penerbit Universitas Atmajaya.2010.
Ruhiatudin,Budi.Pengantar Ilmu Hukum.Yogyakarta: TERAS. 2009.
Sudarsono. Pengantar Ilmu Hukum . Jakarta: PT. Rineka Cipta.2007.
Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika:2002.






[1] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum (Yogyakarta : Penerbit Universitas Atmajaya,2010), hlm. 49.
[2] Ibid, hlm. 63
[3] Ibid, hlm. 64
[4] Budi Ruhiatudin, Pengantar Ilmu Hukum (Yogyakarta: TERAS,2009), hlm.54.
[5] Sudjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1996), hlm. 156.
[6] Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: PT. Rineka Cipta,2007),hlm. 123.
[7] Mertokusumo, Penemuan Hukum ............ hlm.75.
[8] Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum ..... hlm.138.
[9] Ishaq, Ilmu Hukum (Jakarta : Sinar Grafika,2012), hlm. 256.
[10] Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta:Sinar Grafika:2002), hlm 99